Minggu, 30 Oktober 2011

Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional

A. Sejarah Lambang
Lambang Palang Merah
Sebelum Lambang Palang Merah diadopsi sebagai Lambang yang netral untuk memberikan pertolongan kepada tentara yang terluka di medan perang, pada waktu itu setiap pelayanan medis kemiliteran memiliki tanda pengenal sendiri-sendiri dengan warna yang berbeda-beda. Austria misalnya, menggunakan bendera putih. Perancis menggunakan bendera merah dan Spanyol menggunakan bendera kuning. Akibatnya, walaupun tentara tahu apa tanda pengenal dari personel medis mereka, namun biasanya mereka tidak tahu apa tanda pengenal personel medis lawan mereka. Pelayanan medis pun tidak dianggap sebagai pihak yang netral. Melainkan dipandang sebagai bagian dari kesatuan tentara, sehingga tanda pengenal tersebut bukannya memberi perlindungan namun juga dianggap sebagai target bagi tentara lawan yang tidak mengetahui apa artinya.
Lambat laun muncul pemikiran yang mengarah kepada pentingnya mengadopsi Lambang yang menawarkan status netral kepada mereka yang membantu korban luka dan menjamin pula perlindungan mereka yang membantu di medan perang. Kepentingan tersebut menuntut dipilihnya hanya satu Lambang. Namun yang menjadi masalah kemudian, adalah memutuskan bentuk Lambang yang akan digunakan oleh personel medis sukarela di medan perang. Dalam suatu kurun waktu, ikat lengan berwarna putih dipertimbangkan sebagai salah satu kemungkinan. Namun, warna putih telah digunakan dalam konflik bersenjata oleh pembawa bendera putih tanda gencatan senjata, khususnya untuk menyatakan menyerah. Penggunaan warna putih pun dapat menimbulkan kebingungan sehingga perlu dicari suatu kemungkinan Lambang lainnya.
Delegasi dari Konferensi Internasional tahun 1863 akhirnya memilih Lambang Palang Merah di atas dasar putih, warna kebalikan dari bendera nasional Swiss (palang putih diatas dasar merah) sebagai bentuk penghormatan terhadap Negara Swiss yang memfasilitasi berlangsungnya Konferensi Internasional saat itu. Bentuk Palang Merah pun memberikan keuntungan teknis karena dinilai memiliki desain yang sederhana sehingga mudah dikenali dan mudah dibuat. Selanjutnya pada tahun 1863, Konferensi Internasional bertemu di Jenewa dan sepakat mengadopsi Lambang Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal perhimpunan bantuan bagi tentara yang terluka – yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Nasional Palang Merah. Pada tahun 1864, Lambang Palang Merah di atas dasar putih secara resmi diakui sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan bersenjata.
Lambang Bulan Sabit Merah
Delegasi dari Konferensi 1863 tidak memiliki sedikitpun niatan untuk menampilkan sebuah simbol kepentingan tertentu, dengan mengadopsi Palang Merah di atas dasar putih. Namun pada tahun 1876 saat Balkan dilanda perang, sejumlah pekerja kemanusiaan yang tertangkap oleh Kerajaan Ottoman (saat ini Turki) dibunuh semata-mata karena mereka memakai ban lengan dengan gambar Palang Merah. Ketika Kerajaan diminta penjelasan mengenai hal ini, mereka menekankan mengenai kepekaan tentara kerajaan terhadap Lambang berbentuk palang dan mengajukan agar Perhimpunan Nasional dan pelayanan medis militer mereka diperbolehkan untuk menggunakan Lambang yang berbeda yaitu Bulan Sabit Merah. Gagasan ini perlahan-lahan mulai diterima dan memperoleh semacam pengesahan dalam bentuk “reservasi” dan pada Konferensi Internasional tahun 1929 secara resmi diadopsi sebagai Lambang yang diakui dalam Konvensi, bersamaan dengan Lambang Singa dan Matahari Merah di atas dasar putih yang saat itu dipilih oleh Persia (saat ini Iran). Tahun 1980, Republik Iran memutuskan untuk tidak lagi menggunakan Lambang tersebut dan memilih memakai Lambang Bulan Sabit Merah.
Perkembangan Lambang: Kristal Merah
Pada Konferensi Internasional yang ke-29 tahun 2006, sebuah keputusan penting lahir, yaitu diadopsinya Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam Gerakan dan memiliki status yang sama dengan Lambang lainnya yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Konferensi Internasional yang mengesahkan Lambang Kristal Merah tersebut, mengadopsi Protocol Tambahan III tentang penambahan Lambang Kristal Merah untuk Gerakan, yang sudah disahkan sebelumnya pada Konferensi Diplomatik tahun 2005. Usulan membuat Lambang keempat, yaitu Kristal Merah, diharapkan dapat menjadi jawaban, ketika Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak bisa digunakan dan ‘masuk’ ke suatu wilayah konflik. Mau tidak mau, perlu disadari bahwa masih banyak pihak selain Gerakan yang menganggap bahwa Lambang terkait dengan simbol kepentingan tertentu.
Penggunaan Lambang Kristal Merah sendiri pada akhirnya memilliki dua pilihan yaitu: dapat digunakan secara penuh oleh suatu Perhimpunan Nasional, dalam arti mengganti Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah yang sudah digunakan sebelumnya, atau menggunakan Lambang Kristal Merah dalam waktu tertentu saja ketika Lambang lainnya tidak dapat diterima di suatu daerah. Artinya, baik Perhimpunan Nasional, ICRC dan Federasi pun dapat menggunakan Lambang Kristal Merah dalam suatu operasi kemanusiaan tanpa mengganti kebijakan merubah Lambang sepenuhnya.
B. Ketentuan Lambang
Bentuk dan Penggunaan
Ketentuan mengenai bentuk dan penggunaan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ada dalam:
1. Konvensi Jenewa I Pasal 38 – 45
2. Konvensi Jenewa II Pasal 41 – 45
3. Protokol 1 Jenewa tahun 1977
4. Ketetapan Konferensi Internasional Palang Merah XX tahun 1965
5. Hasil Kerja Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional tahun 1991
Pada penggunaannya, penempatan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak boleh sampai menyentuh pinggiran dan dasar putihnya. Lambang harus utuh dan tidak boleh ditambah lukisan, gambar atau tulisan. Pada Lambang Bulan Sabit Merah, arah menghadapnya (ke kanan atau ke kiri) tidak ditentukan, terserah kepada Perhimpunan yang menggunakannya.
Selanjutnya, aturan penggunaan Lambang bagi Perhimpunan Nasional maupun bagi lembaga yang menjalin kerjasama dengan Perhimpunan Nasional, misalnya untuk penggalangan dana dan kegiatan sosial lainnya tercantum dalam “Regulations on the Use of the Emblem of the Red Cross and of the Red Crescent by National Societies”. Peraturan ini, yang diadopsi di Budapest bulan November 1991, mulai berlaku sejak 1992.
Fungsi Lambang
Telah ditentukan bahwa Lambang memiliki fungsi untuk :
> Tanda Pengenal yang berlaku di waktu damai
> Tanda Perlindungan yang berlaku diwaktu damai dan perang/konflik
Apabila digunakan sebagai Tanda Pengenal, Lambang tersebut harus dalam ukuran kecil, berfungsi pula untuk mengingatkan bahwa institusi di atas bekerja sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan. Pemakaian Lambang sebagai Tanda Pengenal juga menunjukan bahwa seseorang, sebuah kendaraan atau bangunan berkaitan dengan Gerakan. Untuk itu, Gerakan secara organisasi dapat mengatur secara teknis penggunaan Tanda Pengenal misalnya dalam seragam, bangunan, kendaraan dan sebagainya. Penggunaan Lambang sebagai Tanda Pengenal pun harus didasarkan pada undang-undang nasional mengenai Lambang untuk Perhimpunan Nasionalnya.
Apabila Lambang digunakan sebagai tanda pelindung, Lambang tersebut harus menimbulkan sebuah reaksi otomatis untuk menahan diri dan menghormati di antara kombatan. Lambang harus selalu ditampakkan dalam bentuknya yang asli. Dengan kata lain, tidak boleh ada sesuatupun yang ditambahkan padanya – baik terhadap Palang Merah, Bulan Sabit Merah ataupun pada dasarnya yang putih. Karena Lambang tersebut harus dapat dikenali dari jarak sejauh mungkin, ukurannya harus besar, yaitu sebesar yang diperlukan dalam situasi perang. Lambang menandakan adanya perlindungan bagi:
> Personel medis dan keagamaan angkatan bersenjata
> Unit dan fasilitas medis angkatan bersenjata
> Unit dan transportasi medis Perhimpunan Nasional apabila digunakan sebagai perbantuan terhadap pelayanan medis angkatan bersenjata
> Peralatan medis.
Penyalahgunaan Lambang
Setiap negara peserta Konvensi Jenewa memiliki kewajiban membuat peraturan atau undang-undang untuk mencegah dan mengurangi penyalahgunaan Lambang. Negara secara khusus harus mengesahkan suatu peraturan untuk melindungi Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Dengan demikian, pemakaian Lambang yang tidak diperbolehkan oleh Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan merupakan pelanggaran hukum. Bentuk-bentuk penyalahgunaan Lambang yaitu:
> Peniruan (Imitation):
Penggunaan tanda-tanda yang dapat disalah artikan sebagai lambang Palang Merah atau bulan sabit merah (misalnya warna dan bentuk yang mirip). Biasanya digunakan untuk tujuan komersial.
> Penggunaan yang Tidak Tepat (Usurpation):
Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit merah oleh kelompok atau perseorangan (perusahaan komersial, organisasi non-pemerintah, perseorangan, dokter swasta, apoteker dsb) atau penggunaan lambang oleh orang yang berhak namun digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan (misalnya seseorang yang berhak menggunakan lambang namun menggunakannya untuk dapat melewati batas negara dengan lebih mudah pada saat tidak sedang tugas).
> Penggunaan yang Melanggar Ketentuan/Pelanggaran Berat (Perfidy/Grave
misuse)
Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit merah dalam masa perang untuk melindungi kombatan bersenjata atau perlengkapan militer (misalnya ambulans atau helikopter ditandai dengan lambang untuk mengangkut kombatan yang bersenjata; tempat penimbunan amunisi dilindungi dengan bendera Palang Merah) dianggap sebagai kejahatan perang.
Referensi
1. Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta.
2. International Committee of the Red Cross, 1994, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC, Geneva.
3. International Committee of the Red Cross, 2005, Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to the Adoption of an Additional Distinctive Emblem (Protocol III). ICRC, Geneva.
4. International Committee of the Red Cross,1991, Regulation on the Use of the Emblem of the Red Cross or the Red Crescent by the National Societies, ICRC, Geneva, 1991.
5. Palang Merah Indonesia, 2006, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Palang Merah Indonesia tahun 2004 – 2009, Markas Pusat PMI, Jakarta.
6. Muin, Umar, 1999, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kamis, 27 Oktober 2011

Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI)


Hukum Perikemanusiaan Internasional


A. Sejarah HPI

Salah apabila kita mengatakan bahwa pendirian Palang Merah di tahun 1863 ataupun pengadopsian Konvensi Jenewa pertama tahun 1864 menandakan kelahiran hukum perikemanusiaan sebagaimana yang kita kenal saat ini. Sebagaimana tidak ada satu masyarakat yang tidak memiliki seperangkat aturan, begitu pula tidak pernah ada perang yang tidak memiliki aturan jelas maupun samar-samar yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya suatu permusuhan, serta bagaimana perang itu dilaksanakan.

Pada awalnya ada aturan tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang mengatur tentang sengketa bersenjata. Kemudian perjanjian bilateral (kartel) yang kerincian aturannya berbeda-beda, lambat-laun mulai diberlakukan. Pihak-pihak yang bertikai kadangkala meratifikasinya setelah permusuhan berakhir. Ada pula peraturan yang dikeluarkan oleh negara kepada pasukannya (lihat “Kode Lieber”). Hukum yang saat itu ada terbatas pada waktu dan tempat, karena hanya berlaku pada satu pertempuran atau sengketa tertentu saja. Aturannya juga bervariasi, tergantung pada masa, tempat, moral dan keberadaban.

Dari sejak permulaan perang sampai pada munculnya hukum perikemanusiaan yang kontemporer, lebih dari 500 kartel, aturan bertindak (code of conduct), perjanjian dan tulisan-tulisan lain yang dirancang untuk mengatur tentang pertikaian telah dicatat. Termasuk di dalamnya Lieber Code, yang mulai berlaku pada bulan April 1863 dan memiliki nilai penting karena menandakan percobaan pertama untuk mengkodifikasi hukum dan kebiasaan perang yang ada. Namun, tidak seperti Kovensi Jenewa yang dibentuk setahun setelah itu, Lieber Code ini tidak memiliki status perjanjian sebagaimana yang dimaksudkannya karena hanya diberlakukan kepada tentara Union yang berperang pada waktu Perang Saudara di Amerika.

Ada dua pria memegang peran penting dalam pembentukan HPI selanjutnya, yaitu Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour. Dunant memformulasikan gagasan tersebut dalam Kenangan dari Solferino (A Memory of Solferino), diterbitkan tahun 1862. Berdasarkan pengalamannya dalam perang, General Dufour tanpa membuang-buang waktu menyumbangkan dukungan moralnya, salah satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864.

Terhadap usulan dari kelima anggota pendiri ICRC, Pemerintah Swiss  mengadakan Konferensi Diplomatik tahun 1864, yang dihadiri oleh 16 negara yang mengadopsi Konvensi Jenewa untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat.

Definisi
Hukum Perikemanusiaan Internasional membentuk sebagian besar dari Hukum Internasional Publik dan terdiri dari peraturan yang melindungi orang yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam persengketaan dan membatasi alat dan cara berperang di masa sengketa bersenjata.

Lebih tepatnya, yang dimaksud ICRC dengan hukum perikemanusiaan yang berlaku di masa sengketa bersenjata adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian dan kebiasaan internasional yang bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional; hukum tersebut membatasi atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk memilih cara-cara dan alat peperangan, serta memberikan perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun harta benda yang terkena dampak pertikaian bersenjata.

Kombatan hanya boleh menyerang target militer, wajib menghormati non-kombatan dan objek sipil dan menghindari penggunaan kekerasan yang berlebihan. Istilah hukum perikemanusiaan internasional, hukum humaniter, hukum sengketa bersenjata dan hukum perang dapat dikatakan sama pengertiannya. Organisasi internasional, perguruan tinggi dan bahkan Negara cenderung menggunakan istilah hukum perikemanusiaan internasional (atau hukum humaniter), sedangkan istilah hukum sengketa bersenjata dan hukum perang biasa digunakan oleh angkatan bersenjata. Palang Merah Indonesia sendiri menggunakan istilah Hukum Perikemanusiaan Internasional.

Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) – dikenal juga dengan nama hukum sengketa bersenjata atau hukum perang – memiliki dua cabang yang terpisah:
Hukum Jenewa, atau hukum humaniter, yaitu hukum yang dibentuk untuk melindungi personil militer yang tidak lagi terlibat dalam peperangan dan mereka yang tidak terlibat secara aktif dalam pertikaian, terutama penduduk sipil;
Hukum Den Haag, atau hukum perang, adalah hukum yang menentukan hak dan kewajiban pihak yang bertikai dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi cara penyerangan.

Kedua cabang HPI ini tidaklah benar-benar terpisah, karena efek beberapa aturan dalam hukum Den Haag adalah melindungi korban sengketa, sementara efek dari beberapa aturan hukum Jenewa adalah membatasi tindakan yang diambil oleh pihak yang bertikai di masa perperangan. Dengan mengadopsi Protokol Tambahan 1977 yang mengkombinasikan kedua cabang HPI, pembedaan di atas kini tinggal memiliki nilai sejarah dan pendidikan.

Prinsip
Hukum perikemanusiaan didasarkan pada prinsip pembedaan antara kombatan dan non-kombatan serta antara objek sipil dan objek militer. Prinsip necessity atau kepentingan kemanusiaan dan militer, perlunya menjaga keseimbangan antara kepentingan kemanusiaan di satu pihak dengan kebutuhan militer dan keamanan di pihak lain. Prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu (unecessary suffering), yaitu hak pihak yang bertikai untuk memilih cara dan alat untuk berperang tidaklah tak terbatas, dan para pihak tidak diperbolehkan mengakibatkan penderitaan dan kehancuran secara melampaui batas serta  tidak seimbang dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu melemahkan atau menghancurkan potensi militer lawan. Prinsip proporsionalitas,  mencoba untuk menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda, kepentingan yang berdasarkan pertimbangan atas kebutuhan militer, dan yang lainnya berdasarkan tuntutan kemanusiaan, apabila hak atau larangannya tidak mutlak.

Aturan Dasar
ICRC telah memformulasikan tujuh aturan yang mencakup inti dari hukum perikemanusian internasional. Aturan-aturan ini tidak memiliki kekuatan hukum seperti sebuah perangkat hukum internasional dan tidak dimaksudkan untuk menggantikan perjanjian-perjanjian yang berlaku.

1. Orang yang tidak atau tidak dapat lagi mengambil bagian dalam pertikaian patut memperoleh penghormatan atas hidupnya, atas keutuhan harga diri dan fisiknya. Dalam setiap kondisi, mereka harus dilidungi dan diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaan berdasarkan apa pun.

2. Dilarang untuk membunuh atau melukai lawan yang menyerah atau yang tidak dapat lagi ikut serta dalam pertempuran.

3. Mereka yang terluka dan yang sakit harus dikumpulkan dan dirawat oleh pihak bertikai yang menguasai mereka. Personil medis, sarana medis, transportasi medis dan peralatan medis harus dilindungi. Lambang palang merah atau bulan sabit merah di atas dasar putih adalah tanda perlindungan atas personil dan objek tersebut di atas, dan harus dihormati.

4. Kombatan dan penduduk sipil yang berada di bawah penguasaan pihak lawan berhak untuk memperoleh penghormatan atas hidup, harga diri, hak pribadi, keyakinan politik, agama dan keyakinan lainnya. Mereka harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan ataupun balas dendam. Mereka berhak berkomunikasi dengan keluarganya serta berhak menerima bantuan.

5. Setiap orang berhak atas jaminan peradilan dan tak seorangpun dapat dituntut untuk bertanggungjawab atas suatu tindakan yang tidak dilakukannya. Tidak seorangpun dapat dijadikan sasaran penyiksaan fisik maupun mental atau hukuman badan yang kejam yang merendahkan martabat ataupun perlakuan lainnya.

6. Tidak satu pun pihak bertikai maupun anggota angkatan bersenjatanya mempunyai hak tak terbatas untuk memilih cara dan alat berperang. Dilarang untuk menggunakan alat dan cara berperang yang berpotensi mengakibatkan penderitaan dan kerugian yang tak perlu.

7. Pihak bertikai harus selalu membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dalam rangka melindungi penduduk sipil dan hak milik mereka. Penduduk sipil, baik secara keseluruhan maupun perseorangan tidak boleh diserang. Penyerangan hanya boleh dilakukan semata-mata kepada objek militer.

Konvensi Jenewa
Konvensi Jenewa 1864 meletakkan dasar-dasar bagi hukum perikemanusiaan modern. Karakter utamanya adalah:
>  aturan tertulis yang memiliki jangkauan internasional untuk melindungi korban   sengketa;
>  sifatnya multilateral, terbuka untuk semua negara;
>  adanya kewajiban untuk melakukan perawatan tanpa diskriminasi kepada personil militer yang terluka dan sakit;
>  penghormatan dan pemberian tanda kepada personil medis, transportasi dan perlengkapannya menggunakan sebuah lambang (palang merah di atas dasar putih).

Diawali dengan Konvensi Jenewa pertama tahun 1864, hukum perikemanusiaan modern berkembang dalam berbagai tahap, seringkali setelah sebuah kejadian di mana konvensi tersebut dibutuhkan, untuk memenuhi kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang terus berkembang sebagai akibat dari perkembangan dalam persenjataan serta jenis-jenis sengketa.

Perang Dunia I (1914-1918) menyaksikan penggunaan cara perang yang, (kalau tidak dapat dikatakan baru) dilakukan dalam skala yang tidak dikenal sebelumnya. Termasuk di dalamnya gas beracun, pemboman dari udara, dan penangkapan ratusan tawanan perang. Perjanjian di tahun 1925 dan 1929 merupakan tanggapan dari perkembangan ini.
Perang Dunia II (1939-1945) menyaksikan penduduk sipil dan personil militer tewas dalam jumlah yang seimbang, berbeda dengan saat Perang Dunia I, di mana perbandingannya adalah 1:10. Tahun 1949 masyarakat internasional bereaksi terhadap angka yang tragis tersebut, terlebih lagi terhadap efek buruk yang menimpa penduduk sipil, dengan merevisi Konvensi yang saat itu sedang berlaku dan mengadopsi perangkat hukum lain: Konvensi Jenewa ke-4 tentang perlindungan terhadap penduduk sipil. Belakangan di tahun 1977, Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya diatur sebagian di dalam Konvensi 1949.

Keempat Konvensi Jenewa menegaskan penghormatan yang harus diberikan kepada setiap pribadi pada masa sengketa bersenjata. Keempat Konvensi tersebut adalah:
I    Perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan   pertempuran darat
II  Perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang luka, sakit dan korban karam
III Perlakuan tawanan perang
IV  Perlindungan penduduk sipil di waktu perang


Protokol Tambahan 1977
Protokol Tambahan merupakan tanggapan atas efek kemanusiaan dalam perang kemerdekaan nasional, yang hanya diatur sebagian di dalam Konvensi 1949. Dua protokol tambahan diadopsi, yang menguatkan perlindungan terhadap korban sengketa internasional (protokol I) dan sengketa non-internasional (protokol II). Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 terdiri hampir 600 pasal dan merupakan perangkat utama hukum perikemanusiaan internasional. Hanya sebuah negara yang dapat menjadi peserta perjanjian internasional, begitu pula untuk menjadi peserta Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya. Di tahun 2002 hampir semua negara di dunia – 190 tepatnya – menjadi peserta Konvensi Jenewa. Fakta bahwa perjanjian ini merupakan salah satu yang diterima di sejumlah besar negara membuktikan kesemestaannya. Sedangkan mengenai Protokol Tambahannya, 157 negara menjadi peserta Protokol I dan 150 peserta Protokol II.

HPI dan HAM
Hukum perikemanusiaan internasional dan hukum hak asasi manusia internasional (selanjutnya disebut hukum HAM) saling melengkapi. Keduanya bermaksud untuk melindungi individu, walaupun dilaksanakan dalam situasi dan cara yang berbeda. HPI berlaku dalam situasi sengketa bersenjata, sedangkan hukum HAM atau setidaknya sebagian daripadanya, melindungi individu di setiap saat, dalam masa perang maupun damai. Tujuan dari HPI adalah melindungi korban dengan berusaha membatasi penderitaan yang diakibatkan oleh perang, hukum HAM bertujuan untuk melindungi individu dan menjamin perkembangannya.
Kepedulian utama HPI adalah mengenai perlakuan terhadap individu yang jatuh ke tangan pihak lawan dan mengenai metode peperangan, sedangkan hukum HAM pada intinya mencegah perlakuan semena-mena dengan membatasi kekuasaan negara atas  individu. Hukum HAM tidak bertujuan untuk mengatur bagaimana suatu operasi militer dilaksanakan. Untuk memastikan penghormatannya, HPI membentuk suatu mekanisme yang mengadakan sebuah bentuk pengawasan terus-menerus atas pelaksanaannya; mekanisme itu memberi penekanan pada kerjasama antara para pihak yang bersengketa dengan penengah yang netral, dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran. Sebagai konsekwensinya, pendekatan ICRC yang perannya menjamin penghormatan terhadap HPI memberikan prioritas pada persuasi.

Mekanisme untuk memonitor hukum HAM sangat bevariasi. Dalam banyak kasus, lembaga yang berwenang dituntut untuk menentukan apakan sebuah negara telah menghormati hukum. Contohnya, Mahkamah HAM Eropa, setelah penyelesaian pendahuluan oleh seseorang, dapat menyatakan bahwa Konvensi HAM Eropa telah dilanggar oleh penguasa negara. Penguasa ini selanjutnya wajib untuk mengambil langkah yang perlu untuk memastikan bahwa situasi internal itu sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh Konvensi. Mekanisme pelaksanaan HAM pada intinya bermaksud untuk meluruskan segala kerusakan yang terjadi.






Referensi

1.                Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1999, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta.
2.                International Committee of the Red Cross, 1994, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, ICRC & Federation, Geneva.
3.                International Committee of the Red Cross,1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta.
4.                International Committee of the Red Cross, 2002, International Humanitarian Law, Answer to Your Question, ICRC, Geneva.
5.                ICRC, Film ‘Fighting by the Rules’ ,  ICRC, Geneva

PMI dalam Merespon Bencana

PMI dalam Merespon Bencana


Berbagai faktor geografis, gelologis, dan demografis sangat mempengaruhi kondisi wilayah Indonesia sehingga frekuensi bencana alam sangat tinggi. Sesuai dengan tugas dan fungsi organisasi, Palang Merah Indonesia berkewajiban memberikan pertolongan dan bantuan pada fase darurat kepada yang membutuhkan secara profesional berdasarkan prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Internasional. Kegiatan respon bencana yang diutamakan PMI meliputi evaluasi penyelamatan korban dan pertolongan pertama dengan memprioritaskan kaum rentan, seperti ibu hamil/menyusui, anak-anak, dan manula.
Penanganan bencana akan dilakukan beberapa unit, seperti: unit Assessment; unit medis (medical action team); unit ambulans; unit dapur umum lapangan; dunit distribusi bantuan bencana; unit penampungan darurat (shellter); unit pemulihan hubungan keluarga; serta unit fungsional pendukung operasional, yang terdiri atas administrasi, keuangan, humas, logistik, dan teknologi informasi. Tahapan bantuan penanganan bencana PMI:

1.   Upaya tanggap darurat lapis pertama dilakukan di tingkat PMI Cabang, yang dapat membangun Posko Tanggap Darurat Bencana PMI Cabang atau Posko PMI Cabang dengan mendayagunakan unsur-unsur pengurus, staf, dan satgana/relawan. Untuk operasional tanggap darurat bencana berbasis masyarakat, khususnya di desa/kelurahan rawan bencana, PMI Cabang/PMI Ranting memobilisasi anggota TSR/PMI di tingkat desa/kelurahan serta anggota masyarakat terlatih binaan PMI dalam wadah Tim SIBAT (Siaga Bantuan Berbasis Masyarakat).

2.   Jika skala bencana melampaui kapasitas PMI Cabang setempat, PMI Daerah dapat diminta bantuan untuk mengkoordinir bantuan baik dari PMI Cabang lain di wilayahnya maupun pihak terkait lainnya. Bantuan ini merupakan upaya tanggap darurat lapis kedua. PMI Daerah dapat mendirikan Posko Tanggap Darurat Bencana PMI Daerah atau Posko PMI Daerah dengan mendayagunakan unsur-unsur seperti yang disebutkan pada poin sebelumnya.

3.   Jika skala bencana melampaui kapasitas PMI Daerah setempat, PMI Pusat dapat diminta bantuan untuk mengkoordinir bantuan dari PMI Daerah lain maupun pihak terkait lainnya. Bantuan ini menjadi upaya tanggap darurat lapis ketiga. PMI Pusat dapat membentuk Posko Tanggap Darurat Bencana PMI Pusat atau Posko PMI Pusat.

4.   Jika skala bencana masih melampaui kapasitas PMI Pusat, sumber daya Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dapat diminta bantuan ataupun pihak terkait lainnya di tingkat nasional maupun internasional. PMI sebagai organisasi sosial kemanusiaan diharapkan mampu memberikan pertolongan dengan cepat dan tepat demi mengurangi beban yang diderita korban bencana. (DM)

Diklat Penanggulangan Bencana Bagi Relawan PMI Kota Sukabumi


Korp Sukarela PMI

Dalam menjalankan kegiatan pelayanan, PMI didukung oleh sumber daya manusia yang tergabung di dalam keanggotaan PMI, yaitu:
  • Anggota remaja (Palang Merah Remaja/PMR)
  • Anggota biasa (Pengurus, Korps Sukarela/KSR dan Tenaga Sukarela/TSR)
  • Anggota luar biasa dan kehormatan
Relawan KSR dan TSR merupakan pelaksana kegiatan pelayanan yang dilakukan PMI, baik dalam penanggulangan bencana maupun pelayanan sosial kesehatan masyarakat. Keanggotaan remaja/PMR, kini tercatat sebanyak 1.633.182 orang, KSR 55.895 orang, dan TSR 44.668 orang.

Korps Sukarela (KSR)
Korps Sukarela (KSR) adalah kesatuan unit PMI yang menjadi wadah bagi anggota biasa dan perseorangan yang atas kesadaran sendiri menyatakan menjadi anggota KSR.

Persyaratan menjadi anggota KSR
  • WNI atau WNA yang sedang berdomisili di Indonesia
  • Berusia minimal 20 tahun
  • Berpendidikan minimal SLTP/Sederajat
  • Bersedia mengikuti pendidikan dan pelatihan
  • Bersedia menjalankan tugas kepalangmerahan secara terorganisir dan mentaati peraturan yang berlaku
Pendaftaran Anggota KSR
Apabila telah memenuhi persyaratan di atas, daftarkan diri ke Kantor PMI Cabang setempat dan bergabung menjadi KSR Unit Markas Cabang. Bila anda seorang mahasiswa suatu perguruan tinggi, dapat menghubungi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang menangani kepalangmerahan dan bergabung menjadi anggota kepalangmerahan setelah melewati pendidikan dasar, maka dapat bergabung menjadi KSR-PMI Perguruan Tinggi.

Pendidikan & Pelatihan
Setelah rekrutmen, anda akan mengikuti pelatihan tingkat dasar KSR, sebelum menginjak tingkat lanjutan dan spesiailisasi yang diselenggarakan oleh Markas Cabang. Sedangkan bagi anggota UKM kepalangmerahan, setelah pelatihan dasar di UKM dapat ditindaklanjuti pelatihan lanjutan di Cabang untuk menjadi anggota KSR PMI Perguruan Tinggi. Pelatihan spesialisasi biasanya akan diberikan kepada KSR yang siap menjadi anggota "Satgana" (Satuan Siaga Penanggulangan Bencana). Cakupan kegiatan tersebut pada intinya diarahkan untuk melaksanakan pertolongan/bantuan dalam kesatuan unit terorganisasi di bidang Penanggulangan Bencana serta Pelayanan Sosial dan Kesehatan Masyarakat.

Kegiatan KSR
  • Donor darah sukarela
  • Pertolongan pertama dan evakuasi pada kecelakaan, bencana dan konflik
  • Dapur umum, penampungan darurat, distribusi relief, "tracing and mailing" untuk korban bencana
  • Pelayanan pada program berbasis masyarakat (CBFA/CBDP)
  • Layanan konseling dan Pendidikan Remaja Sebaya (PRS), Pendidikan Wanita Sebaya (PWS) untuk pencegahan sebaran HIV/AIDS dan narkoba dengan pendekatan
  • Ketrampilan hidup
  • Temu karya KSR
  • Membantu PMI Cabang membina PMR
Cakupan kegiatan tersebut pada intinya diarahkan untuk melaksanakan pertolongan/bantuan dalam kesatuan unit terorganisasi di bidang Penanggulangan Bencana serta Pelayanan Sosial dan Kesehatan Masyarakat.